Senin, 08 September 2008


Bila Engkau melihat anak bangsa, lihatlah sebagaimana mawar, jika engkau melihat janganlah engkau pandang durinya, sebab jika engkau pandang durinya engkau akan membayangkan tempat sampah dan lubang pembakarannya; maka lihatlah mawarnya, dan jika engkau melihat mawarnya maka engkau akan menjadi penjaga taman.

- Ki Hadjar Dewantara -

Taman Dewasa IP Sekolah 'Inklusi', Pendidikan Tanpa Diskriminasi

Munculnya konsep/format pendidikan 'inklusi' (talenta khusus) patut disambut baik. Selama ini lembaga pendidikan formal pada umumnya hanya menerima peserta didik yang memiliki kemampuan standar. Padahal banyak peserta didik memiliki talenta/bakat yang perlu mendapatkan perhatian khusus.

Sekolah 'Inklusi', model sekolah yang memiliki konsep terbuka, baik mereka yang memiliki kemampuan akademik biasa sampai bakat khusus. 'Inklusi' model pendidikan masa depan dan untuk semua, tanpa ada diskriminasi. Demikian ditegaskan Drs Nova Widiyarto MSi, Kabid Dikdas Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan DIY, ketika menerima kehadiran dari Tim Pengembangan Pendidikan Inklusi Majelis Ibu Pawiyatan/MIP Tamansiswa di Dinas Pendidikan DIY, Jalan Cendana, Rabu (16/4).

Hadir dalam kesempatan itu, Ki Drs Sugeng Subagya MM, Ki Trisno Sugiyanto SPd, Ki Drs Murni Rahwinarto, Ki Drs Tri Widiyanto (Kepala SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa). Kehadiran MIP berkait dengan 'Workshop Sekolah Inklusi SMP TDIP' 3 Mei mendatang. Menurut Nova, pendidikan 'inklusi' memang sangat baik untuk dikembangkan di Yogyakarta yang pluralis. "Kami senang konsep inklusi itu lahir dari Tamansiswa yang sudah punya pengalaman sangat panjang dibidang pendidikan sejak tahun 1922," ucapnya. Ki Sugeng Subagya dalam kesempatan itu menjelaskan, 'inklusi' model pengembangan dari pendidikan formal yang selama ini ada. "Kami di Tamansiswa selama ini lupa, selain konsep sistem among dianggap ekslusif, pendidikan perlu ditopang dengan pendidikan inklusi," kata Sugeng Subagya, Wakil Ketua MIP juga konsultan Pendidikan DIY.

Format 'inklusi' diperuntukkan untuk semuanya, mereka yang berbakat, biasa ataupun kurang cepat menerima materi pelajaran bisa diakomodir, "Inklusi untuk semua golongan, tanpa ada diskriminasi," katanya. Ditambahkan Tri Widiyanto, format pendidikan 'iklusi' sudah direalisasikan di SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan. "Ada 12 bidang seni-budaya yang disiapkan, ternyata respons masyarakat sangat positif. Beberapa lembaga pendidikan juga datang untuk studi banding." ujarnya.

Ki Hajar Dewantara : BATU CADAS YANG LEMBUT

Jejak langkahnya sebagai pejuang gigih, politisi andal, dan guru besar bangsa sudah diakui sejarah. Namun, sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, peminat wayang, dan penggemar barang bekas, nyaris tak banyak orang tahu; seperti halnya nama Ki Hajar Dewantara yang awalnya ternyata sekadar kelakar.

Sri Batara Kresna dalam lakon Kresna Muksa mengatakan, hidup ibarat sebuah perjalanan dan pendakian. Oleh Ki Hajar Dewantara ditambah dengan pengertian, hidup dan mati seperti halnya sukses dan kegagalan. Tak perlu ditakuti namun harus dimengerti, supaya tak selamanya kita dikuasai dan menjadi budaknya. Setelah mengerti hakikat keduanya, kita akan menguasai dan menjadi tuan atas kenyataan yang ada. Dengan filosofi itulah Ki Hajar menjadikan hidupnya sebagai litani perjuangan penuh cita-cita sampai di senja hari tua. Bahkan kontrak sosialnya dengan bangsanya nyaris tak menyisakan ruang bagi kepentingan pribadi dan keluarganya.

Ini dibenarkan oleh salah seorang putranya yakni Bambang Sokawati dalam bukunya Ki Hajar Dewantara, Ayahku (Pustaka Sinar Harapan, 1989). Dalam buku tersebut terungkap beragam pengalaman dan pertaruhan yang harus dibayar oleh anak-anak dan istrinya dalam mendampingi perjuangan Ki Hajar. Semasa hidupnya, Ki Hajar melarang anak-anaknya menulis biografinya karena nanti dianggap tidak akan jujur dan subyektif. Bagi Ki Hajar, setiap orang berhak berbeda pendirian, sikap, dan penilaian dengan yang lain tentang dirinya.

Padepokan Tamansiswa yang didirikan 3 Juli 1922 dan terus diperjuangkan dari ancaman pemerintah kolonial, akhirnya juga diwariskan kepada generasi penerusnya untuk dapat dimanfaatkan siapa pun yang memerlukan. Sejak 2 Mei 1970, rumah tinggalnya di Yogyakarta dihibahkan sebagai Museum Dewantara Kirti Griya. Kepada keturunannya ia meminta tak usah mengutik-utik semua yang ditinggalkan di Tamansiswa.

Keyakinan atas nilai demokrasi, membuat Ki Hajar menentang usaha pengkultusan dirinya. Dalam surat kepada Gubernur Jenderal de Jonge tertanggal 26 oktober 1932, ia sempat menuliskan tentang Tamansiswa sebagai berikut, "Gambar saya misalnya, tak boleh dipajang di mana pun. Pertama, batin saya tak menghendaki penghormatan atas gambar saya. Darinya akan timbul dampak yang tidak baik. Kalau kalian mendewa-dewakan saya, habislah Tamansiswa sesudah saya mati."

Sikap ini pun tercermin dalam pesan kepada anak dan istrinya untuk tidak menaburkan bunga kantil di atas pusaranya. Bukan lantaran tak suka, melainkan karena Ki Hajar tidak sependapat dengan arti simbolik nama bunga tersebut. Dalam Bahasa Jawa, kanthil berarti lengket atau nempel. Ada unsur ketergantungan atau ketidakmandirian. Nah, larangan itu sebenarnya bermakna pada keinginan Ki Hajar menanamkan prinsip hidup mandiri. Agar tidak terjadi kultus individu terhadap dirinya.

"Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia. Namun yang penting untuk kalian yakini, sebagai pejuang sampai menjelang ajal, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin. Aku tidak pernah mengkorup kekayaan negara. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan setiap langkah perjuanganku." Demikian ujar Ki Hajar kepada para putranya untuk menjelaskan kepada masyarakat siapa dirinya sebenarnya.

Dijuluki Denmas Jemblung

Lahir Kamis Legi, 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Oleh kedua orang tuanya, pasutri R.A. Sandiah dan K.P.A. Suryaningrat, ia diberi nama R.M. Suwardi. Menurut keluarganya, kelahiran bayi ini dirasa tidak terlalu istimewa. Kalaupun mesti dicari-cari, hanya ada satu hal yang membanggakan yakni bahwa hari itu bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1309 Hijriah. Bulan puasa adalah saat yang paling tepat untuk pendidikan dan penggemblengan iman.

Pangeran Suryaningrat, yang masih keturunan langsung Sultan Hamengku Buwono II, memang mendamba anak lelaki. Namun kondisi fisik bayi dengan berat badan kurang dari 3 kg, perut buncit, dan suara tangisnya yang terlalu lembut untuk bayi lelaki, agak mengecewakannya. Untuk mengobati kekecewaannya, Pangeran yang humoris ini lantas memberikan paraban (nama olok-olok) kepada sang anak, Jemblung (buncit). Paraban Suwardi menjadi komplet setelah sahabat Pangeran Suryaningrat, yakni Kyai Soleman, pengasuh pondok pesantren di Prambanan, memberi tambahan nama Trunogati.

Rupanya mata hati Kyai Soleman lebih waskita membaca aura bocah ini. Menurut dia, tangis Suwardi yang lembut justru nanti akan didengar orang di seluruh negeri. Sementara perut buncitnya memberi firasat kelak ia akan menyerap dan mencerna ilmu yang banyak. Bahkan setelah dewasa ia akan menjadi orang penting. (Truno= pemuda; wigati= penting). Yang jelas, oleh kalangan terdekatnya Suwardi kecil kerap dipanggil dengan julukan Jemblung Joyo Trunagati alias Denmas Jemblung.

Barangkali keprihatinan yang dialami di masa kecil saat ayahnya dilanda kesulitan hidup, justru membuat Suwardi tumbuh dengan watak dan kepribadian seperti yang dikenal orang di kemudian hari. Bagaimana persisnya kepribadian Suwardi, rekan setianya dalam perjuangan kemerdekaan yakni Ernest Francois Eugene Douwes Dekker melukiskannya sebagai berikut, "... di dalam tubuhnya yang lemah itu bersemayamlah daya kemauan keras yang selalu dimenangkannya setiap kali ia memperjuangkan sesuatu...." (Harumi Wanasita Setyabudhy, 70 Jaar Konsekwen, Uitgave, N.V. Nix & Co, Bandung, 1949).

Pergantian nama dari R.M. (Raden Mas) Suwardi, menjadi Suwardi Suryaningrat (tanpa embel-embel R.M.) menyiratkan proses pengendapan dan peningkatan kesadaran hidup seorang bangsawan yang sejak kecil merakyat. Yang unik justru bagaimana ia mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Tak banyak yang tahu, ini terjadi secara kebetulan.

Sebelum Tamansiswa berdiri, Suwardi membentuk semacam kelompok diskusi yang beranggotakan tokoh-tokoh politik, budayawan, dan filsuf. Forum diskusi "Selasa Kliwonan" (karena diadakan setiap hari Selasa Kliwon) ini dipimpin Ki Ageng Suryomentaram, adik Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Rupanya kemampuan Suwardi dalam hal ilmu keguruan dan pendidikan amat menonjol. Suatu hari R.M. Sutatmo Suryakusumo (anggota Volksraad/Boedi Oetomo) yang memimpin diskusi dengan spontan mengubah kebiasaannya memanggil Suwardi yang kebetulan adik sepupunya, tak lagi dengan sebutan Dimas Suwardi melainkan dengan sebutan Ki ajar. Cara ini kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya. Padahal ketika itu Suwardi menerima julukan tersebut sebagai kelakar semata.

Apakah ini merupakan sebuah "pengakuan" atas kebenaran "pengakuan" tak ada yang tahu, yang jelas enam tahun kemudian tepatnya tanggal 23 Februari 1928, Suwardi secara resmi berganti nama Ki Hajar Dewantara.

Bernard H.M. Vlekke, penulis buku Geschiedenis van de Indischen Archiepel (JJ Romein & Zonen – Uitgevers, Roermond-Maaseik, 1947), memberi interpretasi nama itu: seorang guru yang berhasil menanamkan paham sinkretisme kepercayaan-kepercayaan di Jawa zaman dulu.

Keras tapi tidak kasar

Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap kiprahnya.

Setamatnya dari ELS (SD Eropa) tahun 1910, Suwardi sempat bekerja di pabrik gula Kalibagor, Banyumas, sambil menulis di beberapa surat kabar, misalnya Sedyatama. Tahun 1912 dipanggil ke Bandung oleh sahabatnya, E.F.E Douwes Dekker, untuk membantu penerbitan surat kabar de Express. Bersama dengan Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, kemudian mendirikan Partai Hindia atau Indische Partij (IP). Berbeda dengan orsospol sebelumnya yang masih berkutat pada perjuangan kelompok, IP bertujuan menyatukan rakyat untuk mencapai "Hindia bebas dari Nederland" alias merdeka. Saat itu bisa dikatakan IP merupakan partai dengan tujuan paling radikal.

Tak pelak, kemunculan IP membuat pemerintahan Belanda miris. Benarlah, tak lama kemudian partai ini dibreidel. Suwardi tak putus asa. Kritik pedas kepada penjajah kembali dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1923, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah.

Suwardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regeringsreglement - UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Akibat tulisan tersebut Ki Hajar harus membayar mahal, dibuang ke Belanda Oktober 1914. Alhasil, pemuda yang baru saja mempersunting R.A. Sutartinah ini harus berbulan madu di pengasingan.

Tak hanya dalam bersikap. Secara fisik pun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas) tanggal 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah Presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sidang kabinet di Pejambon sempat ribut. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan. Akhirnya setelah melalui perundingan alot, semua sepakat untuk hadir. Yang kemudian menjadi pertanyaan, siapa menteri yang harus membuka jalan terlebih dulu memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan Presiden, mengingat ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional.

Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusumasumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal usia bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg. Abdul Gafur Pringgodigdo, "Ingat, Ki Hajar 'kan sudah tua."

"Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa," jawab Ki Hajar enteng.

Tak sekali itu saja Ki Hajar menunjukkan keberaniannya. Meski baru saja keluar dari tahanan, Desember 1948, ia sudah berani perang mulut dengan tentara Belanda. Pagi itu satu peleton tentara Belanda dengan sikap garang melakukan sweeping di asrama para Pamong (guru) Tamansiswa, Yogyakarta.

Sebelum rombongan tentara itu berlalu, Ibu Dalimo, salah seorang istri pamong, tergopoh-gopoh mendatangi Ki Hajar. Ia melaporkan, seorang serdadu Belanda merampas kalung emasnya. Secara tak terduga, Ki Hajar menghardik komandan tentara tersebut dan melarang mereka meninggalkan tempat. Perang mulut antara Ki Hajar dengan sang komandan dalam bahasa Belanda ini berlangsung sengit. Bahkan Nyi Hajar Dewantara yang semula berdiri di belakang, tiba-tiba maju ke depan mendampingi suami tercinta. Akhirnya, kalung emas pun berhasil kembali ke pemiliknya.

Tentu, mereka yang tidak mengenal pribadi Ki Hajar secara utuh akan terkaget-kaget menyaksikan adegan ini. Betapa tidak? Sosok pria kurus berhati lembut yang tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap orang lain, ternyata bisa marah meledak-ledak.

Orang seringkali lupa, semboyan tutwuri andayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tutwuri andayani. Di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan. Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak buah yang berada dalam pengayomannya terancam bahaya?

Bakmi kuah campur duit

Sisi lain sosok Ki Hajar terpancar dari gaya hidupnya yang amat bersahaja. Sebagai pejabat negara ia tidak sungkan membeli perabotan bekas dari teman atau pelelangan. Di zaman penjajahan, warga Belanda yang ingin kembali ke negaranya karena sudah pensiun biasa melelang rumah berikut perabotannya kepada masyarakat umum. Kesempatan ini tidak dilewatkan Ki Hajar dan istrinya.

Beberapa perabot rumah tangga saat keluarga ini tinggal di van Heutsz Boulevard 47 (kini Jln. Teuku Umar), Jakarta, seperti dua tempat tidur, satu perangkat meja makan, tempat surat kabar, dan sebuah almari arsip dibeli dari Bung Karno. Bahkan, mesin tik Olimpia, radio merek Erres, satu set lemari buku dan meja tulis pun barang bekas.

Yang menarik, mereka tidak hanya melihat perkakas itu melulu dari fungsinya. Nilai sejarah, nostalgia, dan asal-usul barang tersebut tetap dilestarikan. Sepintas memang terdengar lucu karena setiap barang selalu disebut bersama dengan nama pemilik aslinya. Kepada salah seorang anaknya misalnya, Ki Hajar berkata, "Sebaiknya, kamu tidur di ranjang Douwes Dekker itu," atau "Sana, belajar di meja Dr. Tjipto saja." Tak berbeda dengan Nyi Hajar. "Lo, jangan memakai piring Mevrouw Reesink," atau "Hati-hatilah dengan massage listrik Desentje itu."

Tradisi makan bersama, meski dengan menu yang sederhana dan terkadang seadanya, selalu dilakukan Ki Hajar di tengah kesibukannya sehari-hari. Ikhwal makan ini ada peristiwa lucu.

Minggu 19 Agustus 1945, setelah ditetapkan menjadi menteri pengajaran RI yang pertama, Ki Hajar pulang larut malam. Meski demikian ia tidak meninggalkan kebiasaan menceritakan segala hal yang dialaminya kepada istri dan anak-anaknya. Lantaran persediaan lauk pauk habis, Nyi Hajar menyuruh anaknya, Bambang Sokawati, membeli mie godok. Setelah menerima uang f 2, yang disuruh segera berlari ke luar menenteng rantang.

"Namun ketika akan membayar bakmi, uang dua lembar pemberian ibu kucari-cari tidak ketemu. Semua kantong celana dan baju sudah kuraba, tapi tak kutemukan. Sambil membawa rantang itu aku pulang ke rumah dan segera mengambil uangku sendiri untuk membayar tukang bakmi," tutur Bambang dalam bukunya.

Karena lapar, dengan lahap Ki Hajar menyantap bakmi hingga nyaris habis. Ketika akhirnya kuah bakmi itu dituang ke piring, ternyata ... ikut tertuang pula uang f 2 yang tadi hilang. Rupanya, Bambang menaruh uang tersebut di dalam rantang yang kemudian oleh tukang bakmi ditimbuni bakmi. Ki Hajar tidak marah atas kecerobohan putranya, tapi justru tergelak.

"Mungkin ini harus terjadi supaya kita selalu ingat dan dapat bercerita, ketika Bapak diangkat jadi menteri kita mengadakan syukuran di tengah malam dengan makan bakmi yang dibumbui uang lecek!" ujar Ki Hajar.

Selain wajib mendengarkan siaran RRI, kegemaran lelaki yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional 1959 ini adalah menulis dan membaca. Karena saat itu radio masih langka, kegiatan mendengarkan dilakukan bersama banyak orang. Menurut kesaksian Rabhan Ernanto (65), mantan pembantu di rumah Ki Hajar, setiap kali Presiden Soekarno berpidato melalui radio, halaman rumah Ki Hajar dipenuhi oleh masyarakat yang ikut mendengarkan. Sikapnya yang populis juga terlihat dari keputusannya menaruh pesawat telepon Tamansiswa di teras depan rumahnya. Alasannya tak lain agar bisa dipakai banyak orang.

Dari kebiasaannya menulis dan mencatat, harus diakui Ki Hajar juga seorang dokumentalis hebat. Hampir semua peristiwa penting terdokumentasikan dengan rapi dalam buku hariannya yang kini tersimpan di Museum Dewantara. Di sana masih tersimpan surat bukti pembebasan No. 655 dari penjara pusat Pekalongan. Tertulis, berdasar keputusan direktur penjara pusat Pekalongan, R.M. Suwardi dibebaskan dari penjara tanggal 27 September 1921. Selama di penjara ia mendapat upah kerja f 27,40 ditambah uang simpanan f 25.

Pada tanggal 31 Maret 1955, ia menulis rincian uang pensiun yang diterimanya. Misalnya pensiun menteri Rp 50,-, pensiun anggota DPR Rp 345,- Jumlahnya Rp 395,- plus tunjangan keluarga Rp 130,35 dan Tj. Kem. (tunjangan kemahalan - Red.) Rp 158,80, sehingga total yang diterimanya sebesar Rp 684,15,-.

Menolak jimat eyang

Lingkup kegiatannya yang luas membuat Ki Hajar bisa bergaul dengan siapa saja, mulai dari rakyat jelata sampai tokoh nasional. Ia memanggil Bung Karno dengan sebutan Dimas. Sementara presiden pertama RI itu selalu memanggil Ki Hajar dengan sebutan Kang Mas. Kedekatannya dengan Bung Karno tidak terpengaruh meski beberapa kali dua orang itu pernah berselisih paham.

Suatu kali bahkan Soekarno menyempatkan diri bertandang ke Tamansiswa untuk beradu panco dengan putra-putri Ki Hajar, membawa oleh-oleh peuyeum dan kripik singkong. Bahkan ketika Ki Hajar terbaring sakit, Bung Karno selalu menghiburnya.

Sebagai insan yang dibesarkan di lingkungan kejawen yang kental, penggemar wayang ini tidak terperosok ke praktik-praktik laku mistis. Soal hidup dan mati misalnya, ia tetap berpegang teguh pada iman agamanya. Meski demikian, demi sopan santun, secarik ajimat pemberian Eyang Dirjo (neneknya Nyi Hajar) tetap diterimanya meski ia sama sekali tidak percaya pada hal-hal yang berbau klenik.

Ketika keadaan genting menjelang rapat Ikada, Ki Hajar malah berpesan kepada A.G. Pringgodigdo untuk menyerahkan ajimat itu kepada Bung Karno. "Ajimat pemberian kakek saya ini tolong Mas Gafur serahkan kepada presiden, mudah-mudahan berfaedah. Saya tidak memerlukannya."

Begitu pula kepasrahannya atas takdir. Derita penyakit di hari tuanya dijalani dengan tabah. Kepada anak-anaknya yang tinggal di luar kota ia sempat berpesan, "Sejak sekarang kamu harus siap lahir-batin. Sewaktu-waktu denyut nadiku akan berhenti untuk seterusnya. Kita harus bersyukur bahwa Tuhan memberi isyarat secara dini dan seterang ini. Dengan begitu kita diberi kemurahan untuk mempersiapkan diri. Oleh sebab itu biasakanlah kalian mendengar acara Berita Keluarga dari RRI Yogyakarta setiap jam delapan malam. Aku sudah bermufakat dengan ibumu, bahwa berita kematianku nanti akan diberitakan lewat radio saja sebagaimana masyarakat umum mempergunakan jasa ini. Dengan begitu kita tidak akan merepotkan banyak orang."

Merasa sudah terlalu tua dan agar bisa lebih mencurahkan pikirannya sebagai pemimpin umum Tamansiswa, akhirnya tanggal 1 April 1954 Ki Hajar mengundurkan diri dari kancah politik.

Apakah sesudah mengundurkan diri dari berbagai kegiatan politik dan melepaskan berbagai jabatan, Ki Hajar tidak akan berjuang lagi untuk negeri ini? Ketika hal itu ditanyakan oleh anaknya, penasihat politik Jenderal Soedirman ini kembali menyitir kisah Batara Kresna tatkala menyaksikan negerinya luluh lantak seusai perang Bharatayuda.

Di atas bukit, Batara Kresna berdiri termangu, menyaksikan negerinya porak poranda diterpa badai. Ia mengheningkan cipta dengan amat khusyuk. Sesudah itu berbalik arah dan melangkah turun seraya menyuruh Sadewa mengikutinya. Ketika ditanya hendak ke mana, Kresna justru balik bertanya, "Adikku Sadewa. Apakah yang akan dilakukan seseorang yang sudah jauh berjalan dan mendaki sampai di puncak?"

"Oh,Batara. Karena orang harus terus berjalan sebagaimana hidup mengharuskan, barang siapa sudah berada di puncak pendakian maka untuk meneruskan perjalanannya hanya ada satu pilihan baginya, yakni melangkah turun."